Adalah
sebuah kisah luar biasa dari ujung barat nusantara. Di sebuah dusun tanpa
listrik dan air di pelosok negeri ini, di tanah rencong, Nanggroe Aceh
Darussalam. Disanalah, segala kegelisahan tentang dunia pendidikan Indonesia
sepertinya terbungkam. Di jantung Kabupaten Aceh Utara, tepat di daerah konflik
yang dulu menjadi sarang GAM. kita dihadapkan pada realita pendidikan bangsa
kita, dari sudut pandang seorang guru.. Jalanan ke sekolah yang rusak, bangunan
sekolah yang minim fasilitas tanpa toilet, siswa-siswi dengan seragam kumal
yang menggunakan sendal jepit, adalah nyata adanya. Maka meski kini saya
benar-benar menjalaninya, rasanya lidah ini kelu untuk mengeluh, terutama jika
mengingat perjuangan para guru disini untuk mengajar.
Adalah
seorang guru wanita yang bersahaja Ibu Mundliah namanya. Sejak sekolah di
puncak bukit ini dirintis, Bu Mun, panggilan akrabnya, kembali mengabdikan
dirinya sebagai guru. Padahal lokasi sekolah ini terletak sekitar 21 km dari
rumahnya, dan pada saat itu membutuhkan waktu hingga 2 jam untuk tiba di
sekolah. Namun baginya, pilihan menjadi guru adalah sesuatu yang terhormat.
Apalagi sejak suaminya dituduh menjadi bagian dari GAM, dan dipenjara selama
beberapa tahun, Bu Mun, harus membiayai kedua anaknya yang masih kecil dan
menjadi tulang punggung keluarga. Ia juga harus meninggalkan sekolah yang
dirintisnya ketika terjadi konflik, dan hidup berpindah-pindah untuk sekedar
mendapat keamanan. Saat itu adalah masa kelam dalam hidupnya, hingga rumah yang
ia tinggali pun ikut dirusak. Bahkan ia sempat dengan nekat menjalani profesi
sebagai RBT (ojek) dimana lazimnya disini hanya laki-laki yang bisa melakukan
hal tersebut. Kemudian pasca peristiwa tsunami yang menewaskan ratusan guru di
Aceh, tibalah kesempatan untuknya kembali mencicipi suka dan duka sebagai
seorang guru.
Sudah bertahun-
tahun Bu Mun berkiprah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, walau sempat terhenti
sejenak saat masa konflik. Dari mulai guru bakti, hingga guru honor sudah
pernah ia jalani. Namun untuk menjadi seorang pegawai negeri, tampaknya masih
menjadi sebuah mimpi. Kini sebagai seorang guru honor, tidak banyak imbalan
yang diterima olehnya. Jika dibandingkan dengan ongkos bensin dan perbaikan
motornya, semua hampir impas. Tapi hal itu tidak membuat Bu Mun berhenti
mengajar. Baginya ini kesempatan untuk mengembangkan diri sekaligus berbakti
pada negeri. Jika hujan tiba, hanya Bu Mun, satu-satunya guru yang bertahan
naik ke atas bukit. Dengan berbekal motor tuanya, ia bahkan rela berjalan kaki
berkilo-kilometer, karena motornya tak sanggup melewati ganasnya tanjakan tanah
nan berbatu di bukit Dama Buleuen. Saking licinnya, roda motor bergeser kesana
kemari, tanpa pernah bisa melaju. Sungguh membuat frustasi! Terpaksa ia
meninggalkan motornya di tengah jalan, dan kembali melanjutkan perjalanan agar
kegiatan belajar dan mengajar tidak terhenti. Betapa gigih dan luar biasa
perjuangannya.
Saya jadi
ingat pertama kali saya datang ke sekolah ini, lantas saya bertanya pada salah
seorang siswa saya “ Siapa guru favoritmu?” dan mereka serempak menjawab “Bu
Mun..!”. Saat itu saya belum mengenal beliau, karena ia baru saja cuti selama 3 bulan. Saat itu sekolah memang terasa lebih sepi.
Saya hanya melihat karya-karya sederhananya berupa alat peraga, yang sesekali
saya pakai untuk mengajari anak-anak. Saya pun hanya bisa menduga-duga,
‘seperti apa ya cara Bu Mun mengajar hingga ia begitu disayangi siswanya?”.
Belakangan saya tahu, bahwa Bu Mun tidak hanya enerjik dalam mengajar tapi juga
interaktif dan selalu memberikan apresiasi pada siswanya. Padahal, tidak banyak
yang tahu kalau untuk membuat alat peraga itu, tak jarang Bu Mun meminjam uang
pada tetangganya sekedar untuk membeli karton atau lem. Namun baginya,
kebahagiaan adalah ketika melihat senyum anak-anaknya di sekolah dan hadir
bersama mereka.
Hari itu,
seorang guru menyapa saya dengan Bahasa Inggris yang tidak terlalu lancar,
dengan aksen yang kaku namun penuh percaya diri. “Good Morning Pak Dimas.
I’m sorry, I’m late because of my baby”, sahutnya. Tersenyum saya
menatapnya. “Its alright Bu Mun. I’m happy to see you”, balas saya.
Dialah Bu Mun, seorang guru di daerah terpencil yang sudah malang melintang
menjadi seorang pejuang pendidikan. Meski hanya seorang guru honor, namun
dedikasi dan semangatnya bahkan melebihi guru-guru senior yang sudah berstatus
PNS. Dia juga bukan seorang lulusan jurusan Bahasa Inggris, tapi ketekunannya
membuat ia mampu berpidato singkat dengan Bahasa Inggris di upacara 17 Agustus
dan dipercaya sebagai Ketua Kelompok Guru Bahasa Inggris di Kecamatan Sawang.
Orang-orang sudah sangat mengenalnya sebagai pejuang pendidikan. Percakapan
tadi seolah memberi gambaran, baginya menjadi guru adalah proses belajar tiada
henti, hingga tak sedikit pun rasa malu yang tampak meski ia tidak fasih
berbahasa Inggris.Dan tahun ini Bu Mun bisa bersenang hati, karena gelar
sarjana dari Universitas Terbuka telah diraihnya, dengan predikat cum laude.
Bukan guru
biasa, itulah kata-kata yang sering saya katakan padanya. Bahkan guru teladan
sekali pun jika diuji dengan tantangan geografis dan sosiologis di daerah
terpancil belum tentu betah berlama-lama. Maka untuk mereka yang selalu
mengkritik tentang bobroknya sistem pendidikan kita, alami saja persekolahan di
daerah terpencil. Untuk guru yang ingin menguji seberapa besar kontribusi dirinya
terhadap siswa dan selalu mengeluh tentang minimnya kesejahteraan, datanglah
kemari dan rasakan pengalamannya sendiri. Pun, untuk untuk semua orang yang
merasa paling tahu solusi untuk permasalahan pendidikan, sekaligus jumawa
dengan berbagai teori kebijakan makronya, cobalah merendahkan hati disini. Di
Dama Buleuen ada Bu Mun, dia punya hati untuk siswa-siswanya, bukan sekedar
untuk mencari uang. Darinya saya belajar tentang ketulusan dan pengabdian, dan
melakukan kebaikan lewat hal-hal sederhana, bukan sekedar mengutuki keburukan
yang sudah ada.
Bravo....guru2 di daerah terpencil.... saya salut
BalasHapusya maju terus, merekalah pahlawan-pahlawan pendidikan sesungguhnya
BalasHapus