Senin, 23 Juli 2012

Rakyat Adalah Raja

Rakyat adalah raja, diktator sejati yang menentukan “para pemain” yang layak ada dalam suatu pemerintahan. Sebut saja demikian, sebab kekuasaan sejatinya memang berada di tangan rakyat. Pepatah latin mengatakan "Vox populi vox dei", atau artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan latin di atas diyakini kebenarannya mengingat bahwa salah satu unsur pembentuk negara adalah rakyat, dan rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan. Oleh karenanya, kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama yang harus dilakukan oleh “para pemain” di pemerintahan dalam mengambil keputusan. 
Saya mengambil asumsi dalam dunia musik kini, yang kata orang penjualan kaset dan cd menurun hingga 20% atau mencapai milyaran rupiah akibat majunya perkembangan teknologi digital dan internet yang memungkinkan orang untuk dapat memperoleh album seorang penyanyi secara gratis. Ingatan kita belum hlang di kala Napster digugat oleh pemusik Bob Geldof atas hak kepemilikan lagu-lagu artis hingga akhirnya Geldof memenangkan gugatan tersebut. Dampaknya? harga kaset naik dari Rp 2.000,- menjadi Rp 20.000,- dan sekarang cd lagu bisa 5 kali lipatnya. Dalam hal ini, para pemusik maupun “pemain” dalam industri musik seolah hanya terfokus pada laba, atau keuntungan semata sehingga mengorbankan para pecinta musik (baca: rakyat) dengan menaikkan harga jual lagu-lagu mereka. Akhirnya, pada masa sekarang rakyat “menghukum” dengan penurunan penjualan cd dan kaset. “Rakyat” memilih untuk tidak membeli karya mereka.
Asumsi saya di atas menggambarkan situasi dalam lingkup yang relatif sederhana namun mudah dipahami bahwa rakyat merupakan penentu dan pengambil pilihan yang “kejam”. Kalau tidak suka, tanpa sungkan, rakyat dapat menjatuhkan siapapun. Karya para pemusik tidak lagi laku dijual, penjual merugi karena tidak ada yang membeli, industri musik hancur. Kenapa hal itu terjadi? menurut saya karena para pelaku industri musik tersebut hanya berfokus kepada keuntungan semata, tanpa memikirkan nasib para pendengar atau pecinta musik. Mereka hanya berfokus mencari laba tanpa mau menyesuaikan dengan keadaan yang berkembang di tengah masyarakat. Jika asumsi saya ini dibandingkan dengan kehidupan politik, maka tak jauh beda, para kandidat calon pemilukada atau presiden sibuk berbenah dengan fokus memperoleh “kemenangan” (baca:keuntungan) sehingga menutup-nutupi sebuah kebusukan atau bahkan melakukan segala cara demi menuai simpati masyarakat. Hasilnya? kalau merugi dikecil-kecilkan hingga “tampak” tidak rugi, kalau untung dibesar-besarkan seolah sukses luar biasa. Intinya adalah kebohongan.
Asumsi saya ini mungkin cukup dapat menggambarkan kondisi dan situasi disaat-saat menjelang pemilukada , dimana masing-masing kandidat sibuk berbenah demi memperoleh kemenangan, sehingga fokus perhatian hanya diarahkan untuk satu tujuan yaitu “MENANG“. Tetapi mereka lupa, bahwa sejatinya kemenangan itu adalah milik rakyat , bukan parpol terbesar ataupun calon yang terbaik yang mereka punya. Mereka lupa bagaimana seharusnya menarik simpati rakyat secara jujur, dengan perhatian yang tulus dan ikhlas seperti layaknya anak sendiri. Sehingga yang ditebar hanyalah citra, citra dan citra. Bahkan ada yang rela melakukan segala cara hanya demi memperoleh simpati dengan seolah-olah menjadi pihak yang “teraniaya”, membakar mobilnya sendiri, membakar kantornya sendiri bahkan pura-pura diserang oleh kelompok tak dikenal. Ini adalah politik kotor yang sangat melukai perasaan rakyat .
Rakyat yang akan menentukan siapa yang akan dipilih untuk menjadi “pemain” dalam pemerintahan. Sehingga kemenangan dalam pemilukada, lebih bermakna bagi rakyat bukan para kandidat calon, sebab siapapun yang menang nantinya dan terpilih sebagai “pemain”, maka sudah menjadi kewajiban bagi si pemain untuk memberikan pengabdian terbaik bagi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar