Rakyat adalah raja,
diktator sejati yang menentukan “para pemain” yang layak ada dalam suatu
pemerintahan. Sebut saja demikian, sebab kekuasaan sejatinya memang
berada di tangan rakyat. Pepatah latin mengatakan "Vox populi vox dei", atau artinya “suara rakyat adalah suara Tuhan.
Ungkapan latin di atas diyakini kebenarannya mengingat bahwa salah satu
unsur pembentuk negara adalah rakyat, dan rakyatlah pemegang kekuasaan
tertinggi dalam suatu pemerintahan. Oleh karenanya, kesejahteraan rakyat
adalah prioritas utama yang harus dilakukan oleh “para pemain” di
pemerintahan dalam mengambil keputusan.
Saya mengambil asumsi dalam dunia musik
kini, yang kata orang penjualan kaset dan cd menurun hingga 20% atau
mencapai milyaran rupiah akibat majunya perkembangan teknologi digital
dan internet yang memungkinkan orang untuk dapat memperoleh album
seorang penyanyi secara gratis. Ingatan kita belum hlang di kala Napster digugat
oleh pemusik Bob Geldof atas hak kepemilikan lagu-lagu artis hingga
akhirnya Geldof memenangkan gugatan tersebut. Dampaknya? harga kaset
naik dari Rp 2.000,- menjadi Rp 20.000,- dan sekarang cd lagu bisa 5
kali lipatnya. Dalam hal ini, para pemusik maupun “pemain” dalam
industri musik seolah hanya terfokus pada laba, atau keuntungan semata
sehingga mengorbankan para pecinta musik (baca: rakyat) dengan menaikkan
harga jual lagu-lagu mereka. Akhirnya, pada masa sekarang rakyat
“menghukum” dengan penurunan penjualan cd dan kaset. “Rakyat” memilih
untuk tidak membeli karya mereka.
Asumsi saya di atas menggambarkan
situasi dalam lingkup yang relatif sederhana namun mudah dipahami bahwa
rakyat merupakan penentu dan pengambil pilihan yang “kejam”. Kalau tidak
suka, tanpa sungkan, rakyat dapat menjatuhkan siapapun. Karya para
pemusik tidak lagi laku dijual, penjual merugi karena tidak ada yang
membeli, industri musik hancur. Kenapa hal itu terjadi? menurut saya
karena para pelaku industri musik tersebut hanya berfokus kepada
keuntungan semata, tanpa memikirkan nasib para pendengar atau pecinta
musik. Mereka hanya berfokus mencari laba tanpa mau menyesuaikan dengan
keadaan yang berkembang di tengah masyarakat. Jika asumsi saya ini
dibandingkan dengan kehidupan politik, maka tak jauh beda, para kandidat
calon pemilukada atau presiden sibuk berbenah dengan fokus memperoleh
“kemenangan” (baca:keuntungan) sehingga menutup-nutupi sebuah kebusukan
atau bahkan melakukan segala cara demi menuai simpati masyarakat.
Hasilnya? kalau merugi dikecil-kecilkan hingga “tampak” tidak rugi,
kalau untung dibesar-besarkan seolah sukses luar biasa. Intinya adalah kebohongan.
Asumsi saya ini mungkin cukup dapat
menggambarkan kondisi dan situasi disaat-saat menjelang pemilukada , dimana masing-masing kandidat sibuk berbenah demi memperoleh
kemenangan, sehingga fokus perhatian hanya diarahkan untuk satu tujuan
yaitu “MENANG“. Tetapi mereka lupa, bahwa sejatinya
kemenangan itu adalah milik rakyat , bukan parpol terbesar ataupun
calon yang terbaik yang mereka punya. Mereka lupa bagaimana seharusnya menarik
simpati rakyat secara jujur, dengan perhatian yang tulus dan ikhlas
seperti layaknya anak sendiri. Sehingga yang ditebar hanyalah citra,
citra dan citra. Bahkan ada yang rela melakukan segala cara hanya demi
memperoleh simpati dengan seolah-olah menjadi pihak yang “teraniaya”,
membakar mobilnya sendiri, membakar kantornya sendiri bahkan pura-pura
diserang oleh kelompok tak dikenal. Ini adalah politik kotor yang sangat
melukai perasaan rakyat .
Rakyat yang akan menentukan siapa
yang akan dipilih untuk menjadi “pemain” dalam pemerintahan. Sehingga
kemenangan dalam pemilukada, lebih bermakna bagi rakyat bukan para
kandidat calon, sebab siapapun yang menang nantinya dan terpilih sebagai
“pemain”, maka sudah menjadi kewajiban bagi si pemain untuk memberikan
pengabdian terbaik bagi rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar