Senin, 23 Juli 2012

Empat Perempuan Dalam Perut Babi


Mencapai pelataran rumah Sekar, termangu di bawah pohon kersen
yang berbuah lebat, ranum-ranum kemerahan, mengapa yang
kutemui malah wajah pucat perempuan itu? Ia tinggal di lingkungan
rumah-rumah tua, yang kebanyakan belum lagi dipugar, dengan
Eyang Putri, Ibu, dan adik perempuannya. Rupanya perempuan
berumur tiga puluhan itu tak pernah menghiraukan datangnya
siang dan malam. Dia melukis hingga larut, dan setelah itu tidur
sepanjang siang. Aku datang sore hari, yang kukira dia dalam
keadaan rapi sehabis mandi. Tapi perempuan itu, sungguh
mengejutkan, baru saja bangun tidur. Belum makan. Belum minum.
Terlihat letih. Acak-acakan. Tubuhnya rapuh. Tatapannya
menerawang ke kehidupan yang jauh, menembus labirin buram,
tabir waktu yang telah diluruhkannya.
"Kamu mau membeli lukisanku?" tanya Sekar sinis, seperti tak
memerlukan kehadiranku. "Tampaknya kau begitu yakin, aku akan
melepaskan lukisan itu."
"Aku masih berharap kau mau melepas lukisan itu."
"Tak akan kulepas, kecuali aku mati."
Tertawa, memandangi Sekar yang lunglai, aku meredakan hasratku
menaklukkannya. Kutawarkan padanya untuk makan di sebuah
restoran. Dia menolak. Kutawarkan padanya untuk berjalan-jalan.
Dia menggeleng. Diambilnya sebatang rokokku. Dan berseru ke
warung sebelah untuk mengantarkan dua botol minuman.
"Lukisan itu terlalu pribadi. Tak kan dijual. Berkisah tentang
keluargaku sendiri," kata Sekar. "Seumur hidup aku hanya
menemukan Eyang Putri, Ibu, diriku, dan seorang adik perempuan.
Tanpa lelaki di rumahku."

"Lalu kenapa keempat perempuan itu berada dalam perut babi?"
"Kamu sudah tahu, siapa babi itu."
Siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Ayahnya? Lelaki
brengsek yang telah merusak kehidupan keluarganya? Dia selalu
tertawa sinis bila aku bertanya, siapakah yang dimaksud dengan
babi dalam lukisan itu. Tapi sebenarnya aku tak perlu bertanya,
siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Lukisan itulah
yang memancarkan sapuan kuasnya. Sapuan kuasnya tak bimbang,
tak setengah hati. Garis-garis lukisannya cepat dan mendalam.
Sekar meninggalkanku. Dia muncul dengan tubuh yang segar,
berdandan rapi, dan berucap ringan. "Aku mau pergi." Aku merasa
terusir. Ada juga rupanya seorang perempuan yang begitu saja
menelantarkan tamu yang sedang asyik duduk di teras rumahnya,
sambil memandangi daun-daun karena luruh di pelataran. Kuajak
dia pergi bersama dengan mobilku. Dia menolak. Membayar dua
minuman botol ke warung sebelah. Melangkah menyusuri gang.
Kuserukan lagi agar dia turut dengan mobilku. Tapi, lagi-lagi, dia
menolak.
Dengan begitu saja Sekar meninggalkanku di bawah pohon kersen.
Seorang diri ia menyusuri lorong gang sempit menuju jalan raya.
Aku masih belum ingin beranjak dari bawah pohon kersen. Teringat
masa kecil, di rumah Eyang Kakung, bergelayutan memetik buahbuah
kersen ranum, mengulumnya dalam mulut. Eyang Kakung
dulu selalu mengumpatku dengan kasar, bila mendapatiku
meninggalkan pekerjaan, dan memanjat pohon kersen. "Dasar, babi
tengik!"
Aku tak paham, kenapa aku ditelantarkan Ayah. Ibu menitipkanku
pada Eyang Kakung, yang selalu menyuruhku menyapu pelataran,
mengepel lantai, menimba air sumur memenuhi bak mandi, mencuci
pakaian dan piring. Cucu-cucu lain, yang datang dari keluarga kaya,
dibiarkan bersenda gurau, mengotori lantai, menghabiskan air di
bak mandi, dan menumpuk piring-piring kotor. Akulah, yang
dipanggil babi tengik, yang mesti membersihkan segalanya. Di
bawah pohon kersen depan rumah Eyang Kakung itulah aku

berayun-ayun menghibur diri, merenung, kenapa diperlakukan
buruk dan diumpat sebagai babi tengik.
Aku tak pernah mengadu pada Ibu, bila selalu mendapat umpatan
babi tengik. Aku menampakkan kegembiraan, bila Ibu menengokku
di rumah Eyang Kakung. Dan ketika di galeri lukis, beberapa hari
yang lalu, aku tercengang menatap lukisan empat perempuan dalam
perut babi. Terpukau. Aku teringat Eyang Kakung, yang selalu
memanggilku babi tengik. Ketika beliau meninggal, ketika cucucucu
lain menangis, aku tak bisa menangis. Seekor babi tengik
macam aku, tak pantas menangisi kematian manusia yang
dimuliakan anak cucunya. Aku juga selalu menolak berdoa di sisi
makamnya. Doa babi tengik, mana mungkin terkabul?
Lukisan Sekar telah menggetarkan dadaku. Aku jadi ingin selalu
melihatnya. Ketika lukisan itu ingin kubeli, Sekar tak pernah
merelakannya. Aku memburunya dalam beberapa pameran, hingga
ke rumah Sekar. Tapi aneh. Ia kukuh dalam pendirian: tak mau
melepas lukisan itu. Kalau tak diperkenankan membeli lukisan itu,
aku ingin melihatnya.
Dan di rumah besar yang didiami Sekar, terdapat Eyang Putri, Ibu,
adik perempuan Sekar, yang kesemuanya bergerak lamban. Eyang
Putri selalu memandangiku dengan lama, penuh perenungan,
seperti ingin mendalamiku, ingin memahami perasaanku. Ibunya
sedikit lebih terbuka. Tersenyum dan mengajakku berbincangbindcang.
"Kau teman Sekar?"
"Betul. Aku ingin membeli lukisannya."
"Sekar tak kan melepas lukisan empat perempuan dalam perut babi.
Kalau kau memang ingin membeli lukisannya, belilah yang lain."
"Aku hanya ingin melihat lukisan itu!"
Dibawalah aku ke sanggar lukis Sekar. Sebuah ruang yang agak luas
di ruang belakang. Berjajar lukisan, kanvas, dan sebuah lukisan yang
tak jadi, yang ditinggalkannya begitu saja. Ia pergi, dan tak tahu
kapan bakal kembali. Tapi memandangi lukisan empat perempuan
dalam perut babi, aku mulai memahami sepi yang merasuki suasana

hatinya. Aku memahami betapa ia terhina. Apakah itu lantaran ulah
ayahnya sepertiku? Ia tak pernah menyebut-nyebut ayah dalam
hidupnya. Berkali-kali ia berbicang denganku, tetapi tidak pernah
benar-benar menyingkap endapan perasaannya. Ia sungguh lebih
parah dariku. Mungkin ia menanggung penghinaan yang lebih keji
dariku. Ia tak memiliki apa pun, kecuali melukis.
Kutunggui Sekar melukis. Aku diperkenankannya menunggui ia
melukis malam itu. Berkali-kali aku memohon untuk dibiarkan
menungguinya melukis. Dia memang memperkenankannya. Dia
akan melukis. Ia banyak merokok, menenggak anggur merah, dan
beberapa waktu merenung. Hampir tak berkata-kata. Berdiam diri.
Aku tak disapanya sama sekali, kecuali dibiarkannya terkesima. Dia
sempat berkata lirih, "Kuizinkan kau untuk memiliki lukisanku ini."
Dan mulailah Sekar melukis. Mula-mula pelan, sangat pelan, tipis,
dengan guratan-guratan samar. Lambat laun ia bergerak lebih cepat.
Lebih capat lagi, tegas, dan goresannya meluapkan perasaanperasaan
yang tak terduga. Sesekali ia menenggak anggur merah itu.
Langsung dikulum dari mulut botol. Merokok. Melukis lagi.
Membiarkanku terdiam. Memandanginya. Tirai gerimis dan desau
angin merapuhkan malam. Ibu Sekar, perempuan setengah baya
yang menyisakan gurat wajah keningratannya, menyuguhkan dua
cangkir kopi mengepul dan goreng pisang hangat.
Lewat tengah malam baru aku tahu, Sekar melukis seekor babi
dengan tiga perempuan dalam perutnya. Dan seorang perempuan
membebaskan diri dari perut babi itu. Bersayap lembut. Meronta.
Tersenyum. Terbang meninggalkan ketiga perempuan yang
meringkuk dalam perut babi.
Aku tertidur. Bergelung di atas karpet merah. Gelisah. Sesekali
terbangun. Menatap Sekar masih melukis. Tubuhnya melemah. Tapi
terus saja ia melukis. Tak berhenti. Aku tertidur lagi. Merasakan
angin pagi yang dingin, sepi, dan gugus waktu yang luruh. Tercium
harum buah-buah kersen ranum. Aneh. Tidur yang sungguh aneh.
Aku mencium aroma buah-buah kersen ranum yang terkelupas kulit
luarnya. Menyengat, segar, dan manis.

Sebuah tangan mengguncang tubuhku. Ibu Sekar
membangunkanku. Aku tergeragap. Kabur. Samar. Bergoyang
karena kantuk. Tubuh Sekar terbujur di bawah kanvas berlukiskan
tiga perempuan bergelung dalam perut babi, dan seorang
perempuan yang lain, bersayap, membebaskan diri.
"Sekar sudah meninggal," kata ibu Sekar, parau, tersekap dingin
pagi. Ia memintaku mengangkat tubuh Sekar ke meja. Menata
tubuhnya. Ia cantik, pucat, dan menampakkan segurat senyum.
Kecantikan yang ikhlas. Kecantikan yang tak lagi menampakkan
gurat dendam. Langit disepuh hangat fajar yang rekah, pelan, dan
merebakkan aroma buah-buah kersen ranum yang terserak di
pelataran rumah. Tetangga-tetangga berdatangan. Memandangi
jasad Sekar. Memandangi lukisan yang hampir selesai: tiga
perempuan di dalam perut babi dan seorang perempuan bersayap
yang meninggalkan perut babi itu.
Pemakaman di bukit itu hampir-hampir tanpa pelayat. Sekar madi
dalam kesepian. Aku menungguinya. Seperti tersihir, aku tertidur.
Kini saat dia dimakamkan, hanya terhitung beberapa orang yang
hadir. Selain Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar dan aku,
beberapa teman dekat perempuan itu—dapat dihitung dengan jari
tangan—menaburkan bunga di atas pusaranya.
Datang seorang lelaki tampan, berambut putih, mendaki makam.
Diiringi dua orang ajudan yang berjalan tegap di belakangnya.
Semua orang memandanginya. Dia tampak bimbang. Lelaki itu—
seorang pejabat negara—datang dengan penampilan penuh harga
diri. Enggan mendekat ke arah gundukan makam. Ibu Sekar yang
bergegas menyambut. Menyalaminya. Dalam rindu dan duka yang
tertahan. Tak memeluk lelaki tampan berambut putih itu. Ia
menawarkan sekeranjang kembang untuk ditaburkan. Tapi ditolak.
Ia menawarkan kendi berisi air agar dikucurkan di atas makam
Sekar, sambil berbisik, "Ini yang terakhir, agar dia tenteram."
Bimbang sesaat, lelaki tampan dengan dagu terangkat—yang
terkesan congkak itu—menggenggam leher kendi. Mengucurkan air
kendi di atas makam Sekar. Aku berpikir, inikah babi yang
dimaksud Sekar? Betapa tampan, ningrat, dan mengambil jarak
dengan siapa pun yang hadir dalam pemakaman.

Turun dari makam, aku kehilangan selera memiliki lukisan yang
diselesaikan Sekar hingga menjemput ajal. Aku tak tega
memilikinya. Sekar memendam luka maha dalam. Ia telah
mempertaruhkan hidupnya saat menyelesaikan lukisan itu. Aku tak
segera pulang. Kembali ke rumah duka. Duduk di bawah pohon
kersen. Tercium aroma buah- buah kersen ranum, harum, dan
terserak di pelataran rumah tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar