Ini adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.
Tidak ada khalifah yang paling
mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali
ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahan, beberapa
orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara
pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka
kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum
Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia
mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk
surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan
pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.
Dengan hati yang berat, Ali menghimpun
pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra, di satu tempat yang
bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan shalat empat
rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air
matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat
tangan dan berdo’a: “Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang
dinaunginya, yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai
Tuhan pemilik ‘arasy nan agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu
kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah,
masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, karena Engkaulah
sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah
membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay’ah-ku. Ya Allah,
peliharalah darah kaum Muslim.”
Ketika kedua pasukan sudah mendekat,
untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah ibn Abbas menemui pemimpin
pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak menumpahkan
darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan
sahabat-sahabatnya, sambil mengangkat Al-Qur’an di tangan kanannya:
“Siapa di antara kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah
musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Qur’an. Jika tangannya
terpotong peganglah Al-Qur’an ini dengan tangan yang lain; jika tangan
itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia terbunuh.”
Seorang pemuda Kufah bangkit
menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu muda, mula-mula Ali
tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya
yang lain. Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali menyerahkan
Al-Qur’an kepada anak muda itu, “Bawalah Al-Qur’an ini ke tengah-tengah
mereka. Katakan: Al-Qur’an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah,
janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.”
Tanpa rasa gentar dan penuh dengan
keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan Aisyah. Dia mengangkat
Al-Qur’an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara
ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan
pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf dengan tangan
kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian. Untuk
kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan
gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya
masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah
kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas lehernya.
Pejuang perdamaian ini rubuh.
Orang-orang membawanya ke hadapan Ali ibn Abi Thalib. Ali mengucapkan
do’a untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya. “Sampai
juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada
kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil
mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan
janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan
merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan
mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa
izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti
perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin
mereka dan orang-orang saleh di antara mereka.”
Sejarah kemudian mencatat kemenangan
di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya, pasukan Ali berusaha
menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah retak. Ali sendiri memberikan
ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah
kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Mu’awiyah
mengerahkan pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan
kekalahan sudah di ambang pintu, mereka mengangkat Al-Qur’an, memohon
perdamaian. Ali, yang sangat mencintai ukhuwwah, menghentikan
peperangan. Seperti kita ketahui bersama, Ali dikhianati. Karena kecewa,
segolongan dari pengikut Ali memisahkan diri. Golongan ini, kelak
terkenal sebagai Khawarij, berubah menjadi penentang Ali. Seperti biasa,
Ali mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti biasa
pula, upaya tersebut gagal.
Dari: Islam Aktual. Jalaluddin Rakhmat. Mizan, Jakarta 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar