Turki merupakan negara yang terletak pada dua benua. 95 % wilayah Turki,
atau sekitar 780.580 km2 berada di Asia, selebihnya masuk ke kawasan
Eropa. Ada yang menduga, bahwa bangsa Hittiti yang menjadi penduduk
pertama di kawasan ini berasal dari Eropa. Akan tetapi dugaan yang lebih
populer memperkirakan, bahwa orang Hittiti berasal dari Asia Tengah.
Namun demikian, dalam banyak hal, Turki lebih berkiblat ke Barat
dibandingkan mengadaptasi sosio-politik dan kebudayaan Timurnya Asia.
Lebih
dari separuh wilayah Turki merupakan pegunungan. Sungai Eufrat dan
Tigris yang pernah menjadi pusat peradaban dunia, juga melintasi wilayah
ini. Sejumlah potensi sumberdaya alam tersedia dalam deposit yang
melimpah. Salah satu yang produksinya termasuk yang terbesar di dunia
adalah kromit. Lainnya adalah minyak dan gas bumi serta batu bara.
Dengan dukungan Barat, industri di Turki berkembang pesat. Tak
ketinggalan juga dengan sektor pertaniannya, yang memiliki tingkat
penyerapan tenaga kerja mencapai 60 persen.
Memasuki tahun
pertama Masehi, wilayah Turki yang saat itu bernama Kerajaan Bizantium
dikuasai Romawi selama empat abad. Setelah terjadi pergantian kekuasaan,
ibukota kerajaan dipindahkan dari Roma ke Konstantinopel (sekarang
Istambul). Pada abad ke-12, Bizantium jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan
Ottoman yang dipimpin Raja Osman I. Inilah masa keemasan Turki Ottoman.
Pada masa inilah pemerintahan Turki Ottoman memperoleh pengaruh Islam
yang kuat. Bahkan sepeninggal Khulafaaurraasyidiin, Turki menjadi
Khilafah Islamiyah di bawah dinasti Utsmaniyah, yang wilayahnya meliputi
Jazirah Arab, Balkan, Hongaria hingga kawasan Afrika Utara.
Kekhalifahan
itu kemudian hancur akibat perebutan kekuasaan di dalam yang melibatkan
intervensi sejumlah negara asing. Bermula dari perlawanan terhadap
campur tangan asing yang dipimpin Musthofa Kemal, aksi perjuangan
berubah menjadi penentangan terhadap kekuasaan Khalifah. Moment
kehancuran Khilafah Islamiyah sendiri terjadi saat rakyat Turki-melalui
wakil-wakilnya-mengeluarkan Piagam Nasional (Al Mitsaq Al Wathoni).
Sejak itu, Turki menjadi sebuah negara tersendiri, terpisah dari
wilayah-wilayah yang dulu merupakan kesatuan Khilafah Islamiyah.
Khalifah Abdul Majid yang terakhir berkuasa, terusir ke luar Turki. Pada
1923, disepakatilah berdirinya negara Turki dengan batas-batas wilayah
seperti saat ini. Laut Hitam di utara; Irak, Suriah dan Laut Tengah di
selatan; Laut Aegea di barat dan Iran serta Rusia di timur.
Negara
Republik dengan ibukota Ankara ini, pertama kali dipimpin oleh seorang
diktator bernama Musthofa Kemal. Ia melakukan revolusi besar-besaran
dengan berkiblat ke barat. Ia membudayakan tarian-tarian barat, mencetak
Alquran dalam bahasa Turki, melarang Alquran yang berbahasa asli
(Bahasa Arab) beredar di Turki, melarang poligami, merubah Undang-undang
perkawinan yang semula berpijak kepada nilai-nilai Islam menjadi
berpijak kepada barat, mengganti lafadz adzan dengan bahasa Turki,
melarang umat Islam shalat berjamaah, menghapuskan kalender Islam,
mengganti setiap huruf arab dengan huruf latin, menghapuskan kementerian
wakaf dan masih banyak bukti kediktatoran Kemal yang lainnya. Namun
anehnya, oleh sebagian rakyat Turki yang mendukungnya (yang tentu saja
disponsori oleh pihak barat, dalam hal ini Amerika), Musthofa Kemal
dijuluki Bapak Bangsa Turki (Attaturk). Sehingga kemudian dia dikenal
dengan nama Musthofa Kemal Attaturk.
Selepas PD II, kedekatan Turki
dengan barat semakin kental. Turki menolak permintaan Uni Sovyet untuk
membuka pangkalan militer di wilayahnya, namun ia mengundang AS
mendirikan pangkalan militer. Pada 1960-an hubungan ini retak, AS bahkan
mengembargo Turki. Penyebabnya, Turki terlibat konflik dengan Yunani
dalam perebutan Cyprus. Dalam kasus ini, AS lebih berpihak kepada
Yunani. Namun pada 1978, embargo dicabut. Kekentalan hubungan Turki
dengan barat mendapat tentangan, terutama dari etnis Kurdi sejak 1925,
saat Kemal Attaturk berkuasa. Tapi kemudian, pemberontakan dapat
dipatahkan.
Tahun 1950, untuk pertama kalinya Turki menggelar
pemilu. Saat itu, Partai Republik bentukan Attaturk dikalahkan Partai
Demokrat. Pada pemilu 1961, Partai Republik berkuasa lagi. Selepas itu,
hingga tahun 1980, Turki mengalami krisis politik yang membuat militer
sempat mengambil alih kekuasaan.
Upaya-upaya untuk menegakkan
kembali Syari'at Islam, senantiasa disikapi secara represif oleh
pemerintah. Namun, sebagian dari 98 % penduduk Turki yang beragama Islam
terus melanjutkan upaya itu, meskipun sebatas gerakan bawah tanah.
Salah satu simbol dalam menegakkan kembali nilai-nilai Islam di negara
Turki adalah Partai Refah. Namun, partai pimpinan Necmettin Erbakan ini
dibekukan oleh pemerintahan yang berkuasa saat itu yang didukung
Amerika.
Pergerakan rakyat dalam rangka membela nilai-nilai
Islam ini muncul karena penguasa yang kerap melakukan tindakan
diskriminatif terhadap kebebasan menjalankan ajaran Agama Islam. Wanita
Islam adalah komunitas yang seringkali menjadi sasaran kekejian
pemerintahan yang berkuasa. Pelarangan memakai jilbab di tempat-tempat
umum, seperti sekolah, tempat kerja hingga parlemen adalah salah satu
bukti dari kekejian tersebut.
Puan Merve Kavakci, mantan ahli
parlemen Turki, dicabut kewarganegaraannya hanya karena beliau enggan
menanggalkan kerudungnya saat beraktivitas di Parlemen. Selain
kehilangan kewarganegaraan, ia juga ditekan oleh pelbagai propaganda
media Turki. Tidak hanya dirinya yang menjadi korban, dua orang
puterinya yang masih berumur 9 dan 12 tahun (walaupun tidak berkerudung)
dikeluarkan dari sekolah mereka.
Dampak pelarangan jilbab ini, juga
dirasakan oleh para pelajar muslimah. Pelajar muslimah yang diseret
dengan paksa keluar dari kawasan pendidikan karena mereka tetap bertahan
menggunakan kerudungnya, adalah pemandangan yang sudah biasa terjadi di
Turki sejak tahun 1960-an.
Bukan hanya para muslimah yang
menjadi korban, Partai Politik dengan azas Islam pun menjadi incaran
para penguasa dengan cara membekukannya. Virtue Partiy (Partai
Kebajikan) adalah partai yang mengalami nasib serupa dengan Partai
Refah. Partai ini dibekukan oleh Pemerintahan Perdana Menteri Bulent
Ecevit (berasal dari partai berhaluan kiri) yang saat ini berkuasa di
Turki.
Majelis Pengadilan Tinggi Konstitusi Turki menegaskan
kemungkinan dikeluarkannya larangan pada partai Islam Virtue Party. Para
analis memprediksi, bahwa larangan pada Partai Kebajikan, partai
oposisi paling terkemuka di Turki, sangat mungkin akan menimbulkan
masalah. Partai itu didirikan pada Bulan Mei 1999 oleh Vural Savas,
mantan Kepala Jaksa negara itu. Dalam pernyataan resminya, Savas
mengatakan partainya seolah-olah seperti sosok "vampir" yang merusak
perasaan keagamaan publik.
Partai Kebajikan menuduh, bahwa
protes-protes kelompok sekuler telah membidani lahirnya kebijakan
larangan pemakaian kerudung (jilbab) di universitas-universitas. Secara
terorganisir, kelompok itu telah menggagalkan pengambilan sumpah seorang
anggota parlemen (Puan Merve-red) yang mengenakan jilbab. Savas
mendesak partainya diizinkan kembali untuk melakukan kegiatan anti
sekuler. Ia juga meminta agar keputusan membekukan partainya dari
kegiatan politik selama 5 tahun segera dicabut. Kemudian, seluruh
anggota mereka yang berjumlah 102 orang di parlemen (dari jumlah kursi
550) bisa kembali melakukan kegiatannya.
Seorang kolumnis
bernama Gungor Mengi, menulis di harian terkemuka Sabah: hampir dapat
dipastikan, pengadilan akan menarik kembali putusan larangan terhadap
Partai Kebajikan. Pengadilan takut keputusan kontradiktif itu akan
membangkitkan gerakan Islam lainnya. Sementara itu, jika pengadilan
setuju untuk mengganti seluruh anggota parlemen dari Partai Kebajikan,
Turki menggelar agenda pemilihan anggota parlemen baru untuk mengisi
kursi yang lowong atau bahkan harus mengadakan pemilu kembali.
Pemerintahan
Turki hampir stabil sejak 1995, saat pemerintah sedang menghadapi
krisis ekonomi hebat, dan berupaya keras untuk mencapai ambisi Turki
yang sudah lama untuk masuk dalam keanggotaan Uni Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar