EH Kartanegara
KOMPAS - Kamis, 28 Februari 2002
TULISAN Rosihan Anwar 80 Persen Wartawan Melakukan
Pemerasan (Kompas, 9/2/2002) membuktikan, pers kita (masih) mampu
menyampaikan kritik konstruktif, korektif, bahkan kepada dirinya sendiri
(introspektif).
Langkah semacam itu amat penting, bukan untuk menepis tudingan pers
kita hanya memberitakan segi-segi buruk dan menyembunyikan segi positif
pihak lain, seperti diungkap presiden saat menerima pengurus Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, tetapi sebuah kesadaran bahwa pers kita
tidak secara mutlak membenarkan dirinya sendiri.
Di lain pihak, jika kita masih mempercayai bahwa pers kita adalah
cermin kita juga, kritik seperti dilontarkan Rosihan Anwar hendaknya
menggugah keberanian kita untuk bercermin; jika memang buruk wajah,
mengapa pers yang disumpah?
Menyumpahi pers adalah langkah keliru, bahkan di kalangan tertentu,
dianggap kebodohan yang merugikan diri sendiri. Para pejabat humas yang
terbiasa berurusan dengan wartawan Indonesia amat hafal bagaimana jurus
“memuluskan wajah yang buruk”.
Kerja sama antara humas dan wartawan, saling pengertian, TST (tahu
sama tahu) atau apa pun namanya, itulah salah satu modus lahirnya budaya
amplop di kalangan wartawan kita. Para tokoh pers kita tahu, budaya itu
tumbuh dan makin berkembang dengan subur seiring naiknya pamor
kekuasaan Orde Baru.
Mereka pun tahu, amplop tidak pernah meluncur sendirian di tangan
wartawan atau pejabat humas. Ia melayap ke mana-mana ketika moral
masyarakat runtuh dan menganggap kebaikan, keluruhan, kemuliaan, dan
keimanan sekalipun, bisa dibeli.
Ungkapan, “zaman sekarang, apa, sih, yang tidak bisa dibeli?”
bukanlah nonsens belaka. Praktik amplop di kalangan wartawan yang paling
umum terjadi-dan khalayak umum juga tahu-saat jumpa pers. Jika
jumlahnya Rp 100.000 atau Rp 200.000, misalnya, boleh jadi itu memang
sekadar uang transpor.
Akan tetapi, bagaimana jika amplop itu berisi cek senilai Rp 2 juta
atau lebih, atau bahkan STNK dan kunci mobil, yang diberikan dalam
pertemuan yang bersifat pribadi? Wartawan yang berani menerima pemberian
sebesar itu tentu bukan golongan wartawan yang “sekadar mau menerima
kalau memang dikasih sebagai ‘rezeki’ tambahan”-karena faktanya masih
banyak wartawan yang bergaji kecil (baca EH Kartanegara dalam penelitian
Amplop, Obat untuk Wartawan, Kompas, 10/2/1990).
Tanpa menutup mata pada kenyataan, memang ada wartawan yang melakukan
praktik-praktik lain, misalnya, sengaja meminta amplop, atau minta
dengan paksa, bahkan disertai ancaman.
Bisakah cara seperti itu disebut “pemerasan”? Sayang, tulisan Rosihan
Anwar tidak disertai sedikit pun data sehingga kesannya hanya keren
pada judulnya. Dari segi data, tulisan itu ternyata dikembangkan dari
penegasan Wina Armada SH. Pengurus PWI Pusat dan mantan pemimpin Redaksi
Majalah Forum, itu memang amat sumir.
Dari mana angka “80 persen”? Adakah angka itu dari sekitar 10.000
wartawan anggota PWI atau juga non-PWI? Apakah 10.000 anggota PWI itu
wartawan semua atau-maaf-pekerja di perusahaan pers, misalnya, yang
juga mengantungi kartu anggota PWI?
Pemerasan
Di kalangan wartawan umum diketahui ada sekelompok orang yang
mengenakan atribut wartawan yang biasanya ikut nimbrung di tempat-tempat
“basah” atau ramai berita. Sebutan bagi mereka adalah wartawan
“bodrex”, WTS (wartawan tanpa surat kabar) atau sniper. Kerja mereka
macam-macam, mulai dari “makelar perkara hukum”, organiser acara jumpa
pers, sampai “calo wanita panggilan”. Yang jelas, di mana ada duit di
situ mereka ada.
Kerja utama mereka bukan memburu berita, tetapi amplop. Seandainya
benar mereka melakukan pemerasan, sumber berita tak perlu risau. Toh,
tidak sedikit kasus wartawan gadungan yang berhasil ditangani pihak
berwajib.
Modus lain tak sedikit yang dilakukan oleh wartawan resmi. Berita
buruk yang menyangkut seseorang atau instansi tertentu, dimuat lebih
dulu tanpa konfirmasi. Sesudah itu barulah konfirmasi dilakukan. Di
sinilah terbuka “lubang” untuk tawar-menawar.
Kemungkinannya, jika ada kesepakatan di antara mereka, berita ralat
bisa diharapkan akan muncul kemudian. Jika tidak, berita itu akan lewat.
Akan tetapi, jika berita itu dinilai tidak benar dan sumber berita
merasa dirugikan, dia punya hak untuk memperbaikinya, lewat jalur hokum
sekalipun.
Kasus seperti itu belum lama ini terjadi di Pekalongan (Jawa Tengah)
menyangkut berita miring sebuah rumah sakit swasta yang ditulis wartawan
lokal tanpa konfirmasi. Ujung-ujungnya, di balik berita hantam kromo
itu tersembunyi maksud “pemerasan” oleh media lokal yang memuat berita
itu. Pihak rumah sakit yang diwakili seorang dokter, memilih “jalan
diam”. Berita buruk itu lewat begitu saja, dan terbukti citra rumah
sakit itu tidak pudar karenanya.
Ada lagi modus lain yang hampir mirip kasus itu. Entah dari mana
sumbernya, suatu saat para wartawan menerima banyak bocoran kasus di
sebuah instansi. Esok harinya, berita tanpa konfirmasi itu muncul di
beberapa koran.
Celakanya, isi berita itu ternyata tidak keliru. Ujungnya mudah
ditebak; orang-orang yang terlibat kasus itu akan kebakaran jenggot.
Mereka itulah yang akan menjadi makanan empuk praktik-praktik
“pemerasan”. Di mana ada orang (tokoh) yang terlibat sebuah kasus, di
situlah praktik pemerasan akan terjadi.
Contoh kasus seperti itu banyak terjadi. Kita mudah menduga wartawan
macam apa dan dari media mana yang suka melakukan praktik semacam itu.
Tidak pula sulit untuk menebak instansi-instansi mana yang sering
dijadikan sasaran “pemerasan”. Kasus seperti itulah, mungkin yang
dimaksud Wina Armada dan membuat gelisah Rosihan Anwar.
Hal penting lain, kasus pemerasan tidak pernah terjadi sendirian. Ia
adalah potret sosiologis suatu masyarakat yang sudah kehilangan
nilai-nilai keluhuran. Bahwa kemerosotan akhlak itu sudah merambat ke
institusi pers yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran,
itulah yang menjadi masalah.
Jadi, tidak sepenuhnya benar menghubungkan nilai-nilai itu dengan,
misalnya, menaikkan kesejahteraan (nafkah) wartawan, meski bukan berarti
wartawan tidak boleh berpenghasilan tinggi.
Saat mengendus sebuah berita-baik maupun buruk-wartawan yang
bermartabat akan memburunya tanpa mempersoalkan apakah dia akan
memperoleh amplop atau tidak.
Alasannya bukan karena dia bergaji besar, tetapi dengan pertimbangan
profesional; bukankah obyektivitas, integritas, dan kredibilitasnya jauh
lebih bernilai ketimbang berapa pun amplop yang akan diterimanya?
Obyektivitas berita hanya bisa didekati oleh wartawan yang bermartabat
dan menjunjung etika jurnalistik, seperti dikutip William L Rivers dan
Cleve Mathews (1988) dalam Ethics for the Media.
Memeras wartawan
Masih amat banyak praktik wartawan amplop-meski tidak selalu mudah
menggolongkannya sebagai kasus pemerasan-yang bisa ditelusuri dan
diteliti lebih mendalam. Problemnya amat kompleks seperti
praktik-praktik main amplop lain yang sudah telanjur membudaya dalam
birokrasi kita.
Praktik amplop di kalangan wartawan tidak selalu menyangkut skandal
atau kasus-kasus kotor. Beberapa anggota DPR, misalnya, dikenal royal
memanjakan wartawan. Jangan heran jika wajah dan kutipan mereka sering
muncul di banyak media massa.
Praktik serupa juga terjadi di berbagai instansi, lembaga, atau
kantor-kantor di banyak tempat. Bagi tokoh baru, misalnya, terutama di
daerah yang baru dirambah pers, bisa nampang di media massa merupakan
prestise tersendiri.
Kasus yang terjadi bisa terbalik, wartawanlah yang kemudian “diperas”
oleh sumber berita. Apalagi jika wartawan itu juga bekerja rangkap
sebagai humas instansi tertentu. Praktik “pemerasan” canggih dan
menyangkut dana milyaran rupiah yang belum pernah diungkap justru
terjadi di perusahaan pers sendiri.
Dengan dalih dana terbatas dan demi efisiensi, sebuah perusahaan pers
memberi gaji kecil kepada wartawan (tidak sedikit wartawan di Jakarta
yang bergaji di bawah Rp 1 juta per bulan). Oleh investornya, perusahaan
itu lalu dicarikan dana dari lembaga keuangan tertentu-dengan business plan yang di-mark up.
Setelah cair, dana itu tidak untuk mengembangkan perusahaan pers,
melainkan dimasukkan ke laci perusahaan lain yang juga dikelolanya.
Entah ada berapa puluh perusahaan pers yang melakukan praktik seperti
itu-dan menggelapkan pajak-yang akhirnya rontok di tengah jalan. Nasib
wartawannya terkatung-katung.
Buruk wajah perusahaan, wartawan pula yang disumpah-antara lain
karena dianggap tidak mampu menyajikan berita yang marketable. Jumlah
media massa boleh ratusan, tetapi fakta membuktikan; hanya media yang
benar-benar dikelola secara profesional dan punya komitmen tumbuh
bersama karyawannya, yang mampu menjadi besar.
Siapa pun yang melakukan pemerasan, baik wartawan terhadap
sumber-sumber berita atau perusahaan pers terhadap wartawannya, tinggal
menunggu waktu untuk hancur. Sebab, sesungguhnya hakikat pers adalah
mengelola amanat kemerdekaan (salah satu anugerah yang diberikan Al
Khalik, pemilik segala kemerdekaan yang absolut).
* EH Kartanegara Wartawan, peneliti pers, tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar