DPR disebut KPK sebagai lembaga negara yang paling korup. Sementara
partai politik disebut sebagai organisasi yang hidup dan mati untuk korupsi. Jika memang demikian, bagaimana menjelaskan asal-usul korupsi itu?
Partai
politik adalah satu-satunya organisasi yang bisa mendapatkan kekuasaan
legislatif: mengajukan daftar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Partai politik bisa mengajukan pasangan calon presiden
dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota
dan wakil bupati/wakil wali kota.
Jadi, lembaga legislatif dan
eksekutif itu memang jatah partai politik. Itu amanat konstitusi. Jadi,
suka tidak suka, harus diterima. Kecuali kalau rumusan UUD 1945 diubah.
Tetapi peluang itu terkunci, karena perubahan konstitusi hanya bisa
dilakukan oleh dua per tiga anggota MPR yang merupakan gabungan dari DPD
dan DPR. Padahal jumlah DPD kurang dari satu per tiga anggota DPR.
Oleh
karena itu daripada bermimpi membersihkan lembaga legislatif dan
eksekutif dari anasir-anasir partai politik, lebih masuk akal jika kita
mengurai masalah: mengapa partai politik dan orang-orang partai politik
yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif gampang terlibat
korupsi? Sekadar karena bermental korup, atau ada faktor lain?
Saya
tidak percaya bahwa moralitas dan mentalitas merupakan faktor dominan
yang menjadikan anggota parlemen terlibat korupsi. Banyaknya orang baik
yang menjadi jahat setelah menjadi anggota legislatif, adalah salah satu
petunjuk. Pengakuan dari sejumlah narapidana korupsi, bahwa mereka
korupsi karena harus setor uang ke partai politik, adalah petunjuk lain.
Jadi,
ini menyangkut sistem. Maksudnya, sistem politik kita memang mendorong
anggota legislatif dan pejabat eksekutif untuk melakukan tindakan
koruptif. Ada yang tertangkap, tetapi lebih banyak yang sukses karena
berhasil mengakali peraturan.
Sistem politik kita memang
menciptakan biaya tinggi. Biaya tinggi ini yang harus ditanggung partai
politik, anggota legislatif, dan pejabat eksekutif. Bagaimana biaya
politik tinggi itu muncul, dan mengapa mereka mesti menanggungnya?
Pertama,
penggunaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka untuk memilih
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Di sini calon harus
membayar biaya pencalonan, kampanye dan saksi. Besarnya biaya
pencalonan beda-beda setiap partai politik. Sedang biaya kampanye
menjadi berlipat, karena masing-masing calon kampanye habis-habisan
karena merasa punya peluang terpilih. Biaya saksi harus dikeluarkan
untuk menjaga agar perolehan suara tidak dicuri orang di tengah jalan.
Dalam
pemilihan pejabat eksekutif juga terdapat biaya pencalonan yang biasa
disebut dengan "uang perahu" atau "uang tali asih". Sedang sistem
pemilihan langsung dengan putaran kedua, menjadikan biaya kampanye
berlipat, karena calon harus berkampanye dua kali. Karena pemilu dua
kali, maka bayar saksi juga harus dua kali.
Kedua, penerapan
jadwal pemilu: pemilu legislatif, tiga bulan kemudian disusul pemilu
presiden, lalu pilkada di berbagai daerah dengan jadwal berserakan
selama empat tahun. Sepertinya hanya ada tiga pemilu, tetapi dalam kurun
lima tahun bisa sampai tujuh kali pemilu: pemilu legislatif, pemilu
presiden putaran pertama, pemilu presiden putaran kedua, pilkada
gubernur putaran pertama, pilkada gubernur putaran kedua, pilkada
bupati/walikota putaran pertama, dan pilkada bupati/walikota putaran
kedua.
Tentu saja semakin banyak pemilu semakin banyak biaya
kampanye yang harus ditanggung partai politik dan calon. Semakin banyak
juga biaya saksi yang harus ditanggung. Biaya politik pun jadi berlipat.
Ketiga,
tiada pembatasan dana kampanye. Meskipun udang-undang pemilu membuat
banyak ketentuan tentang dana kampanye, namun sesungguhnya tidak ada
pembatasan dana kampanye. Undang-undang pemilu menyebut adanya
pembatasan sumbangan perseorangan dan perusahaan, tetapi karena
sumbangan calon dan partai politik tidak dibatasi, maka kententuan itu
jadi tak berarti.
Ketiadaannya pembatasan belanja kampanye (baik
secara nominal, metode, maupun peralatan), mendorong partai politik dan
calon melakukan kampanye besar-besaran. Mereka percaya rumus sederhana:
siapa yang berkampanye intensif dan masif, maka mereka akan meraih
kursi.
Nah, biaya politik yang demikian tinggi itulah yang harus
ditanggung partai politik dan kader-kadernya yang duduk di legislatif
maupun eksekutif. Pertama, mereka harus mengumpulkan uang untuk membayar
utang dari pemilu yang lalu. Kedua, mereka juga harus mengumpulkan uang
untuk persiapan pemilu yang akan datang. Dari mana mereka mendapatkan
uang jika tidak memanfaatkan jabatan yang didudukinya?
"UNGGUL DALAM PRESTASI, LUHUR DALAM BUDI PEKERTI BERDASAR IMAN & TAQWA"
Jumat, 17 Januari 2014
Senin, 06 Januari 2014
GURU DAERAH TERPENCIL
Komunitas baca itu, bertempat di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, tempat dia tinggal di sela-sela menjalankan tugasnya sebagai guru Bahasa Indonesia. Bapak guru itu namanya Ubaidilah Muchtar. Pak guru Ubai begitu dia biasa dipanggil oleh anak-anak, adalah alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang lulus tahun 2004. Mahasiswa angkatan 1999 itu, dikenal sebagai aktivis mahasiswa, Pernah menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, aktif di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), menghadiri sejumlah aktivitas diskusi, seperti layaknya aktivis kampus di Kota Bandung.
Setelah lulus, sempat menjadi relawan LSM selama dua tahun. Pada tahun 2009, menjadi guru di Kabupaten Lebak. Semula laki-laki yang tinggal di Depok itu ragu, dan kabarnya menangis, melihat kondisi dimana dia ditempatkan. Sempat tidur di masjid, menumpang di sekolah, dan kemudian laki-laki itu memutuskan tinggal di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, lokasi tempat dia tinggal sekitar 50 kilometer dari Kota Rangkasbitung atau sekitar 8 kilometer dari sekolah.
Ke Kampung Ciseel, dari Jakarta naik Kereta Api Jakarta-Rangkasbitung, turun di Rangkas, kemudian melanjutkan naik elf ke pasar Ciminyak sekitar satu jam. Kemudian naik ojeg dari Pasar Ciminyak ke Ciseel Rp30.000-40.000. Tidak ada angkutan kota, kecuali ojek yang tukangnya harus mempunyai keahlian khusus, karena jalannya turun naik, lebarnya 1,5 meter, disisi kiri jalan curam sekitar 15 meter ke dalam.
Dorongan dari istri yang bernama Linda Nurlinda selalu menguatkannya, Ubai bertahan, jiwa aktivis; berbagi dan membangun masyarakat kembali muncul. Sebagai orang yang mencintai sastra, dia mendirikan komunitas baca, 23 Maret dan diberi nama nama Multatuli. Koleksi buku taman baca Multatuli pada mukanya hanya setumpuk buku koleksi Ubai. Tempatnya, di rumah Syarif Hidayat Ketua RT di Kampung Ciseel, tempat Ubai tinggal.Taman Baca Multatuli, sekarang berkembang menjadi taman bacaan anak-anak. Mereka membaca novel Saidjah-Adinda, mereka membaca buku yang dibawa oleh Ubai dan sumbangan dari sejumlah orang yang senang dengan aktivitas guru muda tersebut, Anak-anak kampung pun semakin terbuka pemikiran, juga karakternya.
Sekarang, banyak anak-anak di Kampung Ciseel yang terhibur dengan membaca buku, banyak yang bercita-cita meneruskan sekolahnya, kalau jadi pejabat bersumpah tidak akan menindas rakyat. Bersumpah, akan membangun Lebak. Bersumpah, kalau berhasil bukan untuk dirinya saja, namun untuk lingkungan yang lebih besar. Catatan perjalanan anak-anak Taman Baca Multatuli, kabarnya akan dibukukan. Kita tunggu.
Barangkali Ubaidilah adalah sosok guru yang bukan hanya mengajar anak-anak di ruang kelas, juga di lingkungan masyarakat demi meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Ubai telah jatuh cinta, dan membuang jauh-jauh mimpi untuk mengajar di kota, dia hanya meminta doa, agar Komunitas Baca Multatuli dan semangat mendidiknya tetap berkobar.
***
Kecamatan Angsana sekitar 68 KM dari kota Kabupaten Pandeglang, dari Ibu Kota Kecamatan sekitar 13 kilometer, menuju Desa Padaherang, disanalan terletak SMPN 2 Angsana. Jalannya berbatu diliputi tanah, kalau musim hujan jalanan berlumpur, terpaksa harus jalan jalan kaki.
Sutisna sejak tahun 2009, ditugaskan di SMP tersebut. Dia salah satu alumni Universitas Pasundan Bandung, Jurusan Pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan. Di sekolahnya jumlah guru PNS ada tiga orang plus Kepala Sekolah. Kondisi ini kembali menunjukan bahwa sekolah-sekolah yang terletak di pelosok, banyak terkendala oleh jumlah guru yang minim. Sejumlah SMP, terutama SMP Satap, masih ada yang hanya mempunyai satu orang kepala sekolah dan satu orang guru.
Menjawab persoalan kurangnya guru, biasanya sekolah mengangkat guru honorer, namun diantaranya tidak sesuai kualifikasi. Selain itu jumlahnya pun masih kurang sebanding dengan beban tugas. Tak heran bila banyak guru di tempat terpencil, mengajar sampai 50 jam seminggu. Sering pula guru di kampung mengajar beberapa bidang studi. Kalau di Kota, tentu saja banyaknya jam mengajar berkorelasi dengan tambahan pendapatan, kalau di kampung? Jangan terlalu berharap karena SPP saja banyak yang menunggak.
Pada mulanya, Sutisna mengaku sempat ingin menangis, melihat lokasi dimana dia ditugaskan. Namun, sekarang tidak lagi. Dia merasa jatuh cinta. Dia merasa disana ada sesuatu yang diperjuangkan, menyadarkan pada masyarakat tentang arti pentingnya pendidikan. Pasalnya masih banyak masyarakat menganggap bahwa mencari uang lebih penting dari sekolah, mereka lebih suka anaknya pergi ke sawah atau ke Jakarta sebagai pembantu rumah tangga, dan pekerjaan kasar lain, persis seperti yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Sutisna menjadi semakin sadar, mengajar tidak hanya di ruang kelas, tidak hanya berhenti ketika bel pulang berbunyi. Kadang Sutisna menerima kedatangan anak-anak yang ingin belajar tambahan seperti Bahasa Inggris, dan keterampilan lain seperti komputer. Tidak dibayar memang, namun anak-anak mengerti, mereka juga membantu Sutisna, ada yang memasak atau membereskan rumah. Disela-sela itu, Sutisna sering memotivasi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan.Pak Guru Sutisna juga biasa keliling kampung, dari rumah ke rumah silaturahmi sambil menyadarkan orangtua betapa pentingnya pendidikan anak-anak mereka. Sesuatu yang amat membahagiakannya, ketika beberapa dari anak didiknya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Sebuah kebanggaan, ketika masyarakat semakin sadar akan arti pentingnya pendidikan,” kata dia.
Di tempat lain, kita menemukan kadang guru di daerah perkotaan di sebuah SMA Negeri/SMP Negeri menumpuk. Beberapa guru, terpaksa tidak mengajar sesuai bidangnya. Kadang, untuk keperluan kenaikan pangkat yang mensyaratkan minimal guru harus mengajar 24 jam, pihak sekolah memanifulasi data, yang penting tercetak 24 jam dan mata pelajaran sesuai dengan izajah.
Pemerataan guru sangat penting, lebih-lebih di kampung dimana sarana dan prasarana sekolah sangat kurang. Sekolah kebanyakan hanya ruang-ruang kelas, persinggungan kemajuan teknologi informasi pun sangat minim. Bila di kota anak-anak sudah terbiasa dengan internet, karena menjamurnya warnet, di kampung bisa jadi hanya mimpi. Bila di kota laboratorium untuk mendukung proses pembelajaran lumayan ada, di daerah pelosok rata-rata baru sebatas mimpi.
Bila saja guru menyebar, bisa jadi pembelajaran akan menjadi lebih efektif, sayang banyak guru yang tidak betah melakoninya. Segala usaha dilakukan oleh sejumlah guru yang tidak mau ditempatkan di daerah terpencil, termasuk mengeluarkan sejumlah uang.
Pemerintah memang beberapa tahun ini sudah mengeluarkan kebijakan untuk memberi tambahan penghasilan bagi guru yang bertugas di daerah terpencil, namun tidak semuanya mendapatkan. Selain memperhatikan kesejahteraan, pemerintah juga harus menertibkan pemerataan guru agar bisa bertahan bertugas di daerah terpencil, karena tidak mungkin kualitas tercapai sementara ruang-ruang kosong karena tidak ada guru yang mengajar. Peraturan mestinya ditegakan.
Sehingga guru tidak kabur, sistem rotasi juga mesti diberlakukan agar guru tidak hanya menumpuk di kota. Sehingga guru dari daerah terpencil pun bisa mutasi ke kota atau sebaliknya, sehingga ada pengalaman yang banyak dalam mengajar.Pak Guru Ubai, Pak Guru Sutisna, adalah sosok guru yang mengabdi di daerah terpencil, walau pun tentu masih banyak yang lebih terpencil dari mereka, dengan cerita heroiknya masing-masing. Mereka berdua adalah sosok sarjana Pendidikan yang bertahan di tempat sunyi demi sebuah pekerjaan, mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Sutisna, memang masih iri dengan guru-guru yang ada di Kota, rasa itu datang ketika hasratnya melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 kembali muncul. Sutisna ingin melanjutkan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan karir, Namun mimpinya harus tertunda; medan yang tidak dekat, serta merasa kasihan pada murid-muridnya, kalau dia harus meninggalkan mereka, karena kesibukan kuliah.
Langganan:
Postingan (Atom)