Sabtu, 11 Agustus 2012

Wartawan dan Amplop

EH Kartanegara
KOMPAS - Kamis, 28 Februari 2002

 TULISAN Rosihan Anwar 80 Persen Wartawan Melakukan Pemerasan (Kompas, 9/2/2002) membuktikan, pers kita (masih) mampu menyampaikan kritik konstruktif, korektif, bahkan kepada dirinya sendiri (introspektif).
Langkah semacam itu amat penting, bukan untuk menepis tudingan pers kita hanya memberitakan segi-segi buruk dan menyembunyikan segi positif pihak lain, seperti diungkap presiden saat menerima pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, tetapi sebuah kesadaran bahwa pers kita tidak secara mutlak membenarkan dirinya sendiri.
Di lain pihak, jika kita masih mempercayai bahwa pers kita adalah cermin kita juga, kritik seperti dilontarkan Rosihan Anwar hendaknya menggugah keberanian kita untuk bercermin;  jika memang buruk wajah, mengapa pers yang disumpah?
Menyumpahi pers adalah langkah keliru, bahkan di kalangan tertentu, dianggap kebodohan yang merugikan diri sendiri. Para pejabat humas yang terbiasa berurusan dengan wartawan  Indonesia amat hafal bagaimana jurus “memuluskan wajah yang buruk”.
Kerja sama antara humas dan wartawan, saling pengertian, TST (tahu sama tahu) atau apa pun namanya, itulah salah satu modus lahirnya budaya amplop di kalangan wartawan kita. Para tokoh pers kita tahu, budaya itu tumbuh dan makin berkembang dengan subur seiring naiknya pamor kekuasaan Orde Baru.
Mereka pun tahu, amplop tidak pernah meluncur sendirian di tangan wartawan atau pejabat humas. Ia melayap ke mana-mana ketika moral masyarakat runtuh  dan menganggap kebaikan, keluruhan, kemuliaan, dan keimanan sekalipun, bisa dibeli.
Ungkapan, “zaman sekarang, apa, sih, yang tidak bisa dibeli?” bukanlah nonsens belaka. Praktik amplop di kalangan wartawan yang paling umum terjadi-dan khalayak umum juga tahu-saat jumpa pers. Jika jumlahnya Rp 100.000 atau Rp 200.000, misalnya, boleh jadi itu memang sekadar uang transpor.
Akan tetapi, bagaimana jika amplop itu berisi cek senilai Rp 2 juta atau lebih, atau bahkan STNK dan kunci mobil, yang diberikan dalam pertemuan yang bersifat pribadi? Wartawan yang berani menerima pemberian sebesar itu tentu bukan golongan wartawan yang “sekadar mau menerima kalau memang dikasih sebagai ‘rezeki’ tambahan”-karena faktanya masih banyak wartawan yang bergaji kecil (baca EH Kartanegara dalam penelitian Amplop, Obat untuk Wartawan, Kompas, 10/2/1990).
Tanpa menutup mata pada kenyataan, memang ada wartawan yang melakukan praktik-praktik lain, misalnya, sengaja meminta amplop, atau minta dengan paksa, bahkan disertai ancaman.
Bisakah cara seperti itu disebut “pemerasan”? Sayang, tulisan Rosihan Anwar tidak disertai sedikit pun data sehingga kesannya hanya keren pada judulnya. Dari segi data, tulisan itu ternyata dikembangkan dari penegasan Wina Armada SH. Pengurus PWI Pusat dan mantan pemimpin Redaksi Majalah Forum, itu memang amat sumir.
Dari mana angka “80 persen”? Adakah angka itu dari sekitar 10.000 wartawan anggota  PWI atau juga non-PWI? Apakah 10.000 anggota PWI itu wartawan semua atau-maaf-pekerja di  perusahaan pers, misalnya, yang juga mengantungi kartu anggota PWI?
Pemerasan  
Di kalangan wartawan umum diketahui ada sekelompok orang yang mengenakan atribut wartawan yang biasanya ikut nimbrung di tempat-tempat “basah” atau ramai berita.  Sebutan bagi mereka adalah wartawan “bodrex”, WTS (wartawan tanpa surat kabar) atau sniper.  Kerja mereka macam-macam, mulai dari “makelar perkara hukum”, organiser acara jumpa pers, sampai “calo wanita panggilan”. Yang jelas, di mana ada duit di situ mereka ada.
Kerja utama mereka bukan memburu berita, tetapi amplop. Seandainya benar mereka melakukan pemerasan, sumber berita tak perlu risau. Toh, tidak sedikit kasus wartawan gadungan yang berhasil ditangani pihak berwajib.
Modus lain tak sedikit yang dilakukan oleh wartawan resmi. Berita buruk yang menyangkut seseorang atau instansi tertentu, dimuat lebih dulu tanpa konfirmasi. Sesudah itu barulah konfirmasi dilakukan. Di sinilah terbuka “lubang” untuk tawar-menawar.
Kemungkinannya, jika ada kesepakatan di antara mereka, berita ralat bisa diharapkan akan muncul kemudian. Jika tidak, berita itu akan lewat. Akan tetapi, jika berita itu dinilai tidak benar dan  sumber berita merasa dirugikan, dia punya hak untuk memperbaikinya, lewat jalur hokum sekalipun.
Kasus seperti itu belum lama ini terjadi di Pekalongan (Jawa Tengah) menyangkut berita miring sebuah rumah sakit swasta yang ditulis wartawan lokal tanpa konfirmasi. Ujung-ujungnya, di balik berita hantam kromo itu tersembunyi maksud “pemerasan” oleh media lokal yang memuat berita itu. Pihak rumah sakit yang diwakili seorang dokter, memilih “jalan diam”. Berita buruk itu lewat begitu saja, dan terbukti citra rumah sakit itu tidak pudar karenanya.
Ada lagi modus lain yang hampir mirip kasus itu. Entah dari mana sumbernya, suatu saat para wartawan menerima banyak bocoran kasus di sebuah instansi. Esok harinya, berita tanpa konfirmasi itu muncul di beberapa koran.
Celakanya, isi berita itu ternyata tidak keliru. Ujungnya mudah ditebak; orang-orang yang terlibat kasus itu akan kebakaran jenggot. Mereka itulah yang akan menjadi makanan empuk praktik-praktik “pemerasan”. Di mana ada orang (tokoh) yang terlibat sebuah kasus, di situlah praktik pemerasan akan terjadi.
Contoh kasus seperti itu banyak terjadi. Kita mudah menduga wartawan macam apa dan dari  media mana yang suka melakukan praktik semacam itu. Tidak pula sulit untuk menebak instansi-instansi mana yang sering dijadikan sasaran “pemerasan”.  Kasus seperti itulah, mungkin yang dimaksud Wina Armada dan membuat gelisah Rosihan Anwar.
Hal penting lain, kasus pemerasan tidak pernah terjadi sendirian. Ia adalah potret sosiologis suatu masyarakat yang sudah kehilangan nilai-nilai keluhuran. Bahwa kemerosotan akhlak itu sudah merambat ke institusi pers yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran, itulah yang menjadi masalah.
Jadi, tidak sepenuhnya benar menghubungkan nilai-nilai itu dengan, misalnya, menaikkan kesejahteraan (nafkah) wartawan, meski bukan berarti wartawan tidak boleh berpenghasilan tinggi.
Saat mengendus sebuah berita-baik maupun buruk-wartawan yang bermartabat akan memburunya tanpa mempersoalkan apakah dia akan memperoleh amplop atau tidak.
Alasannya bukan karena dia bergaji besar, tetapi dengan pertimbangan profesional; bukankah obyektivitas, integritas, dan kredibilitasnya jauh lebih bernilai ketimbang berapa pun amplop yang akan diterimanya?  Obyektivitas berita hanya bisa didekati oleh wartawan yang bermartabat dan menjunjung etika jurnalistik, seperti dikutip William L Rivers dan Cleve Mathews (1988) dalam Ethics for the Media.
Memeras wartawan
Masih amat banyak praktik wartawan amplop-meski tidak selalu mudah menggolongkannya sebagai kasus pemerasan-yang bisa ditelusuri dan diteliti lebih mendalam. Problemnya amat kompleks seperti praktik-praktik main amplop lain yang sudah telanjur membudaya dalam birokrasi kita.
Praktik amplop di kalangan wartawan tidak selalu menyangkut skandal atau kasus-kasus kotor. Beberapa anggota DPR, misalnya, dikenal royal memanjakan wartawan. Jangan heran jika wajah dan kutipan mereka sering muncul di banyak media massa.
Praktik serupa juga terjadi di berbagai instansi, lembaga, atau kantor-kantor di banyak tempat. Bagi tokoh baru, misalnya, terutama di daerah yang baru dirambah pers, bisa nampang di media massa merupakan prestise tersendiri.
Kasus yang terjadi bisa terbalik, wartawanlah yang kemudian “diperas” oleh sumber berita. Apalagi jika wartawan itu juga bekerja rangkap sebagai humas instansi tertentu. Praktik “pemerasan” canggih dan menyangkut dana milyaran rupiah yang belum pernah diungkap justru terjadi di perusahaan pers sendiri.
Dengan dalih dana terbatas dan demi efisiensi, sebuah perusahaan pers memberi gaji kecil kepada wartawan (tidak sedikit wartawan di Jakarta yang bergaji di bawah Rp 1 juta per bulan). Oleh investornya, perusahaan itu lalu dicarikan dana dari lembaga keuangan tertentu-dengan business plan yang di-mark up.
Setelah cair, dana itu tidak untuk mengembangkan perusahaan pers, melainkan dimasukkan ke laci perusahaan lain yang juga dikelolanya. Entah ada berapa puluh perusahaan pers yang melakukan praktik seperti itu-dan menggelapkan pajak-yang akhirnya rontok di tengah jalan. Nasib wartawannya terkatung-katung.
Buruk wajah perusahaan, wartawan pula yang disumpah-antara lain karena dianggap tidak mampu menyajikan berita yang marketable. Jumlah media massa boleh ratusan, tetapi fakta membuktikan; hanya media yang benar-benar dikelola secara profesional dan punya komitmen tumbuh bersama karyawannya, yang mampu menjadi besar.
Siapa pun yang melakukan pemerasan, baik wartawan terhadap sumber-sumber berita atau perusahaan pers terhadap wartawannya, tinggal menunggu waktu untuk hancur. Sebab, sesungguhnya hakikat pers adalah mengelola amanat kemerdekaan (salah satu anugerah yang diberikan Al Khalik, pemilik segala kemerdekaan yang absolut).
* EH Kartanegara Wartawan, peneliti pers, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar